Tak ada kata terlambat untuk mengawali hari dengan menggores harapan, begitupun tak ada kalimat ‘usang’ untuk sebuah ucapan selamat ti...
Tak ada kata terlambat untuk mengawali hari dengan menggores
harapan, begitupun tak ada kalimat ‘usang’ untuk sebuah ucapan selamat tinggal.
Pada senja 31 Desember 2016, di
mana salju sudah mulai mencair dan sebagiannya menggenang di sudut ruang, seorang
teman menanyakan kepada saya tentang resolusi. Bukan pengertian resolusi itu
sendiri, melainkan apakah saya sudah menulis resolusi, dan seperti apa resolusi
yang saya tulis mengawali tahun 2016. Ya, resolusi menjadi kata paling populer
di setiap penghujung tahun. Dibahas dan diperbincangkan dengan amat kerap Melebihi
kepopuleran kisah papa minta saham yang melambungkan nama Setya Novanto, sekaligus
mendepak beliau dari kursi Ketua DPR RI, dan kemudian entah bagaimana caranya
Ia bisa mendudukinya kembali.
Seperti orang-orang latah pada
umumnya, tentu saja saya memiliki daftar panjang resolusi. Tak
tanggung-tanggung, saya merancang 30 butir the
best wishes dan menuliskannya di secarik kertas dengan ambisi paling urgen berada
di urutan pertama. Kemudian resolusi tersebut saya baca lamat-lamat, dalam
hati. Berharap Tuhan mewujudkannya satu persatu, di suatu ketika.
Sayang sekali saya tak senekat
Marcus Tullius Cicero tatkala menyuarakan ambisi besarnya menjadi seorang Konsul saat ia berusia 27 tahun, atau
sekitar tahun 675 setelah berdirinya Roma. Orator handal dari Picenum ini mengucapkan
kata Konsul dengan tegas dan lugas,
seperti memancangkannya di tanah bak panji-panji untuk diyakini dan dikagumi.
Dikisahkan oleh Robert Harris
dalam Imperium, pada masa itu di Republik Romawi, Konsul merupakan kemuliaan sejati. Imperium tertinggi dan termegah
yang harus diperoleh jika ingin abadi dalam sejarah. Bahkan pada semua dokumen
resmi dan batu landasan, tahun Republik Roma dibedakan dengan nama konsul yang
menjabat. Di kolong langit, jabatan inilah yang berada di peringkat ke dua
setelah para Dewa.
Dan Cicero, pada usia 42 tahun,
usia termuda yang diperbolehkan undang-undang Roma, mencapai imperium tertinggi
berupa jabatan Konsul Roma –dan
memperolehnya secara mengagumkan dengan suara centuria yang bulat. Sebagai ‘orang baru’ tanpa bantuan keluarga,
harta, ataupun kekuatan pasukan; dalam hal ini, yang ia peroleh merupakan
prestasi yang belum pernah dan takkan pernah lagi diraih.
Kadang, mengutarakan ambisi
terlalu awal adalah tindakan konyol –mendedahkannya terlalu dini pada tawa dan
kesinisan dunia dapat menghancurkan ambisi itu sebelum sempat terlahirkan
dengan benar. Mulut-mulut berkabut akan dengan senang hati mencela tanpa merasa
bersalah, bersorak dan mencibir tanpa merasa berdosa. Agaknya itulah salah satu
kebahagiaan mereka, meruntuhkan kepercayaan diri orang-orang yang coba menapaki
dunia dengan gegap gempita, sehingga jika kita sedikit saja terperdaya, dapat membuat
ambruk sebuah bangunan cita-cita.
Namun kadang kebalikannya yang
terjadi, bahwa tindakan melisankan itu justru membuatnya tiba-tiba terasa
mungkin terwujud, begitu dekat, bahkan dapat terbayangkan. Terlepas dari deraan
rasa takut yang ditimbulkan oleh rentetan cibiran, akan tetapi dengan menggumamkan
resolusi ataupun ambisi ataupun cita-cita, membuat kita seolah-olah dapat
mengintip masa depan, seolah-olah perkara tersebut bukan hal mustahil.
Rasanya kita baru saja menjalani
kisah pada tahun 2015, 2016, lantas kita sudah dikejutkan oleh letup petasan, yel-yel kegembiraan dan pijar kembang
api, menandai dibukanya tirai perjalanan di tahun 2017. Dengan demikian,
berakhirlah periode tahun lalu beserta software dan hardware-nya, beserta
sebundel suka duka, untuk kita kembali mengukir resolusi, pada episode
berikutnya.
Disadari atau tidak hal-hal
demikian senantiasa berulang. Yel-yel,
resolusi, party, petasan. Seperti
tradisi. Namun yang membuat saya tidak mengerti sampai saat ini, mengapa tahun
baru harus ditandai dengan kembang api? Bukankah sejak ‘waktu’ ditemukan, kita
bisa mengenali hitungan detik, menit, jam, hingga bergantinya hari? Kita tahu
bahwa pergantian hari diawali pukul 12 lewat detik. Kita tahu hari apa kemarin,
esok maupun lusa. Lalu, apakah letusan-letusan yang berisik di setiap
pergantian tahun itu sangat diperlukan? Apakah kembang api warni-warni
merupakan sesuatu yang fardhu?
Saya lebih suka melalui tahun
baru dengan senyap dan penuh harap. Membuka lembar keinginan, merevolusi
resolusi, pada bagian mana yang masih harus saya raih dan diperjuangkan, dan
mana yang harus dikubur dalam-dalam. Bukan berarti letusan mercun dan percik
kembang api tak mampu menarik perhatian. Hanya saja saya terlalu tua bagi
keriangan yang selebor, terlalu udik bagi kegembiraan yang tak terkendali,
namun saya leluasa pada kebahagiaan yang bermartabat. Barangkali di antara
banyak orang, saya satu-satunya species yang berperangai demikian.
Meski demikian, ‘penanda
rutinitas tahunan’ tersebut memang mengingatkan kita tentang hari yang akan
kita tinggalkan, yang kelak menjadi masa lalu. Masa lalu tentu saja menyisakan
sederet panjang tanda tanya sekaligus misteri. Tentang jatuh yang tak tahu
kapan akan bangkit, tentang luka yang entah bila akan sembuh, tentang perih yang
tak pernah berhenti merintih, tentang keberanian yang berhujung menjadi rasa
takut, tentang hilang yang belum terkuak, tentang cinta yang berisi
pengkhianatan, tentang rindu yang semakin berat, tentang reshufle yang mendulang syarat, juga tentang janji-janji memperbaiki
negeri yang ternyata hanya menjadi semacam ritual basa-basi.
Sebaliknya tahun lalu tidak untuk
direkonstruksi sekalipun masih ada segunung target tak
tercapai, tanya tak
terjawab, dan pinta tak terdekap. Tugas kita adalah hari ini, menapak jejak
nyaris tanpa ragu, berjuang tanpa mengkhawatirkan menang atau kalah yang pada
dasarnya kedua hal tersebut turut membentuk kehidupan setiap manusia. Ya,
setiap manusia kecuali pengecut. Karena para pengecut, tidak pernah kalah
ataupun menang.
Untuk itu waktu tidak akan
menunggu. Ia terus bergerak tanpa bisa kita hentikan. Dengan berbekal resolusi,
ambisi, mimpi, atau apapun namanya, setidaknya kita tak perlu meraba-raba
memulai perjalanan. Karena kita dipandu resolusi untuk menapak setiap langkah
kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Ibarat suluh, ia menerangi di
segala kondisi: bahagia maupun gaduh. Jika di tengah perjalanan nanti kita tersesat,
dengan resolusi, semoga kita tak tersesat terlalu lama.
Setelah itu apa yang terjadi? Karena
hidup tidak menoleh ke belakang, kita hanya perlu mengambil sikap dan berhenti
mengeluhkan segala sesuatu. Membuka mata lebar-lebar pada setiap peluang dan
tantangan. Memusatkan pikiran, memastikan kita tahu benar apa yang kita
inginkan. Sebab, kata Paulo Coelho, tak seorang pun bisa membidik sasaran
dengan mata terpejam.
Pada akhirnya kita harus mengucapkan
selamat tinggal pada tahun 2016 dan meneriakkan selamat datang pada tahun 2017.
Dan beberapa dari kita, akan kembali menulis daftar resolusi.
*
Dinna F Norris
---------
Tag: tahun baru, 2017, resolusi,
newyear, kembang api, mercun, cita-cita, harapan, masa lalu
COMMENTS