Kita hidup dalam penantian, tukas Epicurus. Apakah itu menanti masa hukuman, menanti panggilan dari antrian panjang kehidupan, menanti...
Kita hidup dalam penantian, tukas
Epicurus. Apakah itu menanti masa hukuman, menanti panggilan dari antrian
panjang kehidupan, menanti saat-saat menuju tempat peristirahatan terakhir, atau
menanti kehadiran seseorang yang akan datang dengan membawa cinta. Yang jelas
kita semua sedang menantikan sesuatu apapun warna, bentuk dan jenisnya.
Selama penantian itu, ingatan
akan sesuatu, kenangan tentang seseorang senantiasa hilir mudik ibarat film yang
diputar ulang. Tak pernah menjauh, malah semakin dalam menghujam. Namanya,
sikapnya, wujudnya, telah menjadi material yang nyata dalam pikiran. Dia yang
pernah bersemayam pada lembar masa lalu, dia yang bermakna jerit dan luka,
bukan nostalgia.
Sementara peraasaan yang aneh dan
kadang mengesalkan ini terus menerus memposisikan dirinya sebagai ruang kosong
yang menuntut harus segera diisi. Meski amat kerap ia berperan sebagai sunyi
yang tak bertepi. Mencengkeram, mengikat, dan mendorongku ke dalam hampa yang
temaram. Seolah-olah kesunyian merupakan kengerian sesungguhnya yang tak mampu
kupendam.
‘Aku harus memiliki teman hidup,
lebih tepatnya seseorang yang aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya
selamanya. Tapi di mana aku bisa singgah dan betah? Kepada siapa hati ini akan
berlabuh?’ Pertanyaan itu mencuat di benakku ketika kali pertama terlempar ke lobang
kesunyian yang tak terpermanai, persis usiaku 27 tahun. Celakanya, ketika aku
mulai merafal nama demi nama, mereka-reka sosok demi sosok, tak seorangpun yang
mampu memantik geloraku. Orang-orang yang mencoba menyalakan pelita dalam ruang
sunyi ini, cahayanya justru tak cukup mampu menjadi suluh hidupku. Orang-orang
yang tadinya berjaya menghadirkan rasa suka, entah bagaimana bisa justru melenyapkannya
seketika. Orang-orang yang berhasil menggugah hatiku justru tak bisa
membangkitkan ketertarikanku, dan orang-orang yang membangkitkan ketertarikanku
justru tak bisa menyentuh hatiku.
Segala kerumitan tersebut malah memoncerkan
jalan bagi kekecewaan untuk datang, lalu pergi. Segala kelok hidup itu akhirnya
memuluskan celah bagi kesunyian untuk menjadi sesuatu yang akrab dan nyaman. Begitu
seterusnya. Apa mungkin segala kerumitan itu ada padaku? Atau barangkali aku
yang terlampau tinggi mengukir ekspektasi? Atau juga karena aku telah merasa
nyaman pada kesendirian yang tak bertuan, pada kesunyian yang tak terperi?
Kini, aku merasa tak ubahnya nakhoda
yang berlayar di samudera. Nakhoda yang merasa nyaman dengan suara debur ombak,
desau angin, dan gelombang pasang. Nakhoda yang terlanjur menikmati balutan
laut biru. Nakhoda yang asik dengan nyanyian sekawanan camar. Nakhoda yang
terbiasa dengan ritme hidup: merapat ke dermaga, singgah, sejenak bertegur
sapa, untuk kemudian berpindah-pindah.
Fakta menunjukkan bahwa manusia
bisa tahan hidup seminggu tanpa air atau bertahun-tahun tanpa rumah. Manusia
juga bisa melewati waktu sepekan tanpa gadget.
Tapi siapa yang mampu berkrompomi
dengan kekosongan? Manusia mana yang bisa menahankan kesepian.
‘Kesepian merupakan kegelapan
yang sangat mengerikan’ kata Anwar Sadat ketika ia meringkuk dalam sebuah tahanan,
pada salah satu kota kecil di Mesir.
Aku memang tak sedang berada di
balik jeruji besi seperti yang dialami Presiden Mesir ketiga itu. Aku leluasa
menghirup udara bebas, bisa mengitari tempat yang kuinginkan, dapat menikmati
matahari pagi serta rembang petang. Aku bukan milik lelaki manapun. Dengan
demikian, aku bebas menentukan kemana dan kepada siapa kerinduan yang tak
berarah ini kuperuntukkan. Aku berhak! Meski hal itu hanya akan menyakiti
diriku sendiri, atau sedikit banyak malah melukai orang-orang yang lelakinya
kurindukan.
Saat ini aku memang merasa sangat
kesepian dan tak bisa berpikir tentang cinta. Tapi aku tahu cinta akan datang.
Tapi kapan? Kehidupan bergerak sangat cepat. Malam yang sedang meluruh akan
ditutup, fajar yang dingin mulai merekah, dan senja kembali memerah. Begitu
seterusnya hingga dunia ini menemui ajalnya. Dalam perputaran waktu tersebut
manusia tentu semakin menua. Kecantikan tak bertahan, ingatan mulai memudar,
pandangan semakin kabur. Saat itu, di usia yang tak lagi muda itu, kesendirian
akan menemukan bentuknya dalam wujud paling suram: menua tanpa cinta.
Cinta adalah hal yang aneh:
berisi hal-hal rumit sekaligus menyenangkan; sangat pelik namun amat
diinginkan. Tapi aku ingin memahaminya. Aku juga ingin memilikinya sebagaimana
aku telah menyaksikan ratusan hati yang menyatu. Pasangan-pasangan yang saling
menatap, bergenggaman tangan, tertawa dan menangis bersama, melangkah menuju
hidup baru. Meski aku sangat tahu kelak di sepanjang perjalanan akan
menghasilkan dentuman-dentuman. Ada pasangan yang berhasil mengarungi samudera
kehidupan setelah dihantam badai, namun ada pula bahtera yang karam di tengah
perlayaran.
Namun bukankah masa depan adalah
milik ketidak pastian? Tak ada yang tahu bagaimana dan seperti apa perjalanan
hidupnya hingga mereka melaluinya. Jadi izinkanlah petaruhan ‘kehidupan
pernikahan’ itu aku lakukan, sebab hidup yang tidak dipertaruhkan tak akan
dimenangkan.
Aku tak akan bertanya giliranku.
Aku hanya bertanya apakah dia merindukanku. Apakah ia layak untukku atau
sebaliknya, aku layak untuknya. Apakah ia berusaha mengukir jalan menuju
hatiku, karena di sini, saat ini, aku sedang berusaha mempersiapkan jalan
menujunya. Kuharap Allah menjaganya dan berkenan menyapanya untukku, hingga
tiba masanya Ia menyatukan hati yang berserak, mengumpulkan dua jiwa yang
terpisah oleh jarak, sebagai pertanda kasih sayangNya, sebagai pengingat akan
kebesaranNya.
Tapi, sementara dalam penantian
ini aku akan menikmati kesendirian yang tersisa, dalam kesunyian aku akan
belajar ikhlas dan terus memperbaiki diri, dalam perjalanan aku mesti
melihat-lihat pemandangan di sekitarku dan berseru-seru gembira.
Tag: jodoh, menikah, kesunyian,
takdir, kehidupan, perjalanan
COMMENTS